koranindopos.com – Jakarta. Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, angkat bicara terkait konflik yang terjadi antara kepolisian dan masyarakat adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Nasir Djamil mengingatkan bahwa tugas polisi adalah untuk mengamankan dan melindungi masyarakat, bukan sebaliknya yang dapat mengancam dan membahayakan masyarakat adat.
“Dalam hal ini, kami meminta aparat untuk melindungi rakyat. Jadi polisi wajib melindungi rakyat,” tegas Nasir Djamil dalam pernyataan kepada media pada Jumat (8/9/2023).
Konflik yang terjadi melibatkan masyarakat adat dari 16 kampung adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang, Kepulauan Riau, yang terancam tergusur oleh proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City.
Awalnya, kabar beredar bahwa Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) beserta pihak berwenang akan memaksa masuk ke Pulau Rempang untuk melakukan pengukuran lahan. Hal ini memicu kumpulan warga yang berkumpul di Jembatan 4 Barelang.
Pada saat aparat gabungan, termasuk Satpol PP, Polisi, TNI, dan Ditpam Batam, mendekati warga, konflik memanas. Lemparan batu dari warga dibalas dengan penyiraman air dan tembakan gas air mata. Kejadian tersebut juga melibatkan wilayah sekolah, seperti SMP 33 Galang dan SD 24 Galang.
Nasir Djamil menekankan perlunya evaluasi terhadap anggota kepolisian yang terlibat dalam proses pembebasan lahan di Pulau Rempang. Ia mengkritik pendekatan kepolisian yang kurang hati-hati, khususnya dalam menangani masyarakat adat yang memiliki hak atas tanah di Pulau Rempang.
“Masyarakat adat memiliki tempat dalam struktur sosial di desa bahkan nasional. Seandainya langkah preventif dan upaya pencegahan lebih awal diterapkan, peristiwa ini mungkin bisa dihindari,” kata Nasir Djamil, yang juga merupakan politisi Fraksi PKS.
Nasir Djamil juga mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam menyelesaikan konflik agraria di Indonesia, termasuk di Pulau Rempang. Ia berharap Presiden Joko Widodo turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut sebelum masa jabatannya berakhir pada tahun 2024.
Konflik ini berkaitan dengan rencana pengembangan Rempang Eco City di lahan seluas 7.572 hektar. Meskipun sudah ada upaya musyawarah dan relokasi yang disiapkan oleh BP Batam, sebagian masyarakat masih menolak proyek tersebut. Pengembangan Rempang Eco City merupakan proyek strategis nasional tahun 2023 yang dapat berdampak pada ribuan warga Pulau Rempang dan Galang yang tersebar di 16 Kampung Melayu Tua. Masyarakat adat di kampung-kampung ini khawatir akan tergusur dan kehilangan hak atas tanah yang mereka huni turun-temurun sejak 1843.(dni)