koranindopos.com – Jakarta. Hubungan antara Presiden Soekarno (Bung Karno) dan Buya Hamka, atau Abdul Malik Karim Amrullah, merupakan kisah yang penuh nuansa unik. Meskipun memiliki periode persahabatan dan perbedaan pandangan, perjalanan hidup keduanya memberikan inspirasi bagi bangsa Indonesia.
Buya Hamka, dikenal sebagai sastrawan ulung, terlebih dahulu mengemuka sebagai jurnalis dan politikus terkemuka. Melalui Majalah Pedoman Masyarakat yang ia pimpin, Buya Hamka menulis cerita berlanjut dan menyajikan pemikiran yang memikat banyak orang. Hubungannya dengan para pemimpin bangsa sangat erat, dan kedalaman pemikirannya menciptakan pengagum di kalangan para pemimpin, termasuk Bung Karno.
Pertemanan mereka seolah berasal dari penghargaan yang mendalam atas intelektualitas dan perjuangan masing-masing. Namun, pada tahun 1955, hubungan baik ini terhenti. Pada saat itu, pemilihan umum pertama diadakan, dan partai komunis mulai memperoleh pengaruh yang signifikan. Bung Karno merasa kurang senang terhadap Buya Hamka, yang memiliki ikatan dengan Malaysia dan aktif memperingatkan akan bahaya komunis di Indonesia.
Perjalanan hubungan mereka mencapai puncaknya saat konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1962. Buya Hamka tidak tinggal diam dan secara aktif memberikan ceramah dan penjelasan di berbagai media tentang bahaya komunis. Akibat tindakan ini, Buya Hamka dan beberapa tokoh Masyumi lainnya ditangkap dan mengalami interogasi yang kejam.
Namun, perjuangan Buya Hamka tidak berakhir di penjara. Selama masa penahanannya, ia berhasil menyelesaikan karya monumentalnya, “Tafsir Al-Azhar”, yang diambil dari nama masjid tempat ia sering berbicara. Setelah tahun 1965, Buya Hamka dibebaskan dan mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menjadi salah satu tonggak penting dalam perkembangan dunia Islam di Indonesia.
Keunikan kisah ini tidak berakhir di situ. Pesan terakhir yang dikirimkan oleh Bung Karno kepada Buya Hamka memohon agar beliau menjadi imam shalat jenazahnya menggambarkan kedamaian yang akhirnya tercapai antara keduanya. Buya Hamka dengan tulus menjalankan tugas ini, menghormati keinginan proklamator tersebut.
Pada tahun 1981, Buya Hamka melakukan perjalanan terakhirnya ke luar negeri untuk mendukung perdamaian antara Palestina dan Israel. Kembali ke Indonesia, ia menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 73 tahun pada tanggal 24 Juli 1981. Warisannya terus dikenang dan dihormati, termasuk melalui penghargaan anumerta dan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2011.
Dengan segala perbedaan dan perjuangan yang dilalui, perjalanan hidup Buya Hamka dan hubungannya dengan Bung Karno memberikan pelajaran tentang persahabatan yang menginspirasi, perbedaan yang melahirkan pembelajaran, dan perjuangan tulus untuk agama dan perdamaian. Nama Buya Hamka akan tetap hidup dalam sejarah bangsa, memberikan inspirasi bagi generasi masa kini dan mendatang.(ana)