Koranindopos.com – Jakarta. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tengah menghadapi tantangan serius terkait elektabilitas pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Survei terbaru menunjukkan tren stagnasi bahkan penurunan, menempatkan PDIP dalam posisi tidak menguntungkan menjelang pemilihan umum 2024.
Dalam menghadapi situasi ini, PDIP dan tim kampanye Ganjar-Mahfud nampaknya telah memutar otak untuk merumuskan strategi alternatif tanpa memihak atau menyerang pihak tertentu. Strategi yang terlihat cukup pragmatis adalah menggandeng dukungan dari akademisi partisan yang telah lama mendukung Ganjar-Mahfud dan PDIP.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah melibatkan akademisi-akademisi tersebut untuk bersuara dan menyatakan sikap yang secara tidak langsung mendukung Ganjar-Mahfud. Sebagai contoh, deklarasi Kebangsaan di Rotunda, Universitas Indonesia, menjadi bukti nyata dari upaya ini. Meskipun diinisiasi oleh kelompok tertentu dari kalangan akademisi, deklarasi ini diklaim sebagai pernyataan dari sivitas akademika UI.
Beberapa akademisi seperti Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Suzie Sudarman, dan Reni Suwarso terlihat mendukung Ganjar-Mahfud secara terang-terangan. Meski tindakan ini merupakan hak demokrasi, muncul pertanyaan seputar representasi dan netralitas sivitas akademika, khususnya dalam konteks pemilihan umum yang semakin polarisasi.
Selain itu, beberapa Civitas UGM juga menyampaikan Petisi Bulaksumur yang diklaim menggunakan nama UGM, namun terungkap melibatkan tokoh atau kader senior dari PDIP seperti Bambang Praswanto. Foto-foto yang beredar menunjukkan beberapa orang dengan pose tiga jari, mengindikasikan dukungan kepada Ganjar-Mahfud.
Kegiatan semacam ini, yang seharusnya dilakukan dalam lingkungan akademis yang netral, menimbulkan pertanyaan sejauh mana kegiatan akademis dapat dipisahkan dari keberpihakan politik.
PDIP dan pasangan Ganjar-Mahfud berharap dapat mengubah dinamika pemilihan yang saat ini tidak menguntungkan dengan memanfaatkan dukungan dari akademisi partisan. Meski demikian, langkah ini juga membawa risiko tertentu terkait persepsi publik terhadap integritas akademisi dan politik dalam konteks kampus yang seharusnya netral.