Koranindopos.com – Jakarta. Yayasan Anxiety Care Indonesia (ACI) menandai ulang tahunnya yang kelima dengan menggelar seminar dan pertemuan besar di Ballroom Cilandak Town Square (Citos), Jakarta Selatan. Acara ini berfokus pada peningkatan kasus gangguan kecemasan (anxiety disorder) serta kaitannya dengan masalah lambung yang kian marak di Indonesia.
Dalam pertemuan ini, berbagai data terkait kesehatan mental di Indonesia turut dibahas, termasuk temuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menunjukkan tingginya angka gangguan kecemasan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, dalam kesempatan terpisah di Jakarta Convention Center (JCC) beberapa waktu lalu, mengungkapkan bahwa gangguan kecemasan menjadi salah satu masalah kesehatan mental terbesar di dunia, dengan angka mencapai 300 juta kasus secara global.
Pendiri Yayasan Anxiety Care Indonesia, Erik Wibowo, menegaskan bahwa pihaknya telah melihat berbagai faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka gangguan kecemasan di Indonesia.
“Pola hidup dan pola makan yang buruk selama bertahun-tahun, serta masalah lambung yang tidak tertangani dengan baik, sering kali menjadi pemicu utama kecemasan yang mengganggu keseharian penderita,” ujarnya.
Minimnya pemahaman masyarakat tentang gangguan kecemasan juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak penderita yang menghabiskan biaya besar untuk mencari pengobatan, tetapi tetap mengalami kesulitan dalam pemulihan. Oleh karena itu, ACI berencana untuk menginisiasi sebuah gerakan nasional yang melibatkan tenaga medis, puskesmas, serta berbagai lembaga masyarakat guna meningkatkan edukasi mengenai gangguan kecemasan dan kaitannya dengan kesehatan lambung.
Selain diskusi dan pemaparan materi oleh para ahli, seminar ini juga menghadirkan sesi khusus yang membahas dampak arus informasi di internet dan media sosial terhadap kesehatan mental, terutama di kalangan anak muda. Peserta seminar diajak untuk lebih bijak dalam menyikapi informasi yang beredar agar tidak memperburuk kondisi kecemasan yang dialami.
Sebagai penutup, ACI menggelar sesi meditasi dan doa bersama, dengan harapan agar yayasan ini terus berkembang dan mampu memberikan manfaat lebih luas bagi masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, pendanaan ACI masih berasal dari iuran komunitas dan dana pribadi. Oleh karena itu, Erik Wibowo berharap ada dukungan lebih lanjut dari berbagai pihak, termasuk sponsor dan pemerintah, agar program-program ACI dapat berjalan lebih optimal dalam membantu masyarakat menghadapi gangguan kecemasan.
Sejak berdiri, ACI telah menjadi wadah bagi para penyintas gangguan kecemasan untuk berbagi pengalaman dan saling mendukung. Melalui metode yang mereka kembangkan, yakni metode 4P, komunitas ini telah membantu banyak individu untuk pulih dari gangguan kecemasan, GERD, dan dispepsia fungsional.
Tercatat, ratusan orang dari 13 provinsi di Indonesia telah membagikan testimoni pemulihan mereka melalui komunitas ini. Dengan pendekatan berbasis Terapeutic Community (TC), para anggota saling mendukung untuk menjaga kesehatan mental dan fisik mereka. “Sebagian besar anggota kami berasal dari Pulau Jawa dan Sumatra, dengan rentang usia produktif 25-35 tahun,” ungkap Erik Wibowo.
Melalui berbagai inisiatif ini, ACI berharap dapat terus memperkuat upaya dalam menciptakan masyarakat yang lebih sadar akan kesehatan mental, serta mendukung mereka yang berjuang untuk pulih dari gangguan kecemasan dan masalah kesehatan terkait lainnya.