koranindopos.com – Jakarta, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menilai langkah Presiden Prabowo Subianto menertibkan enam smelter ilegal di Bangka Belitung bukan sekadar tindakan penegakan hukum, melainkan kebijakan strategis untuk mengoreksi arah ekonomi sumber daya nasional menuju kedaulatan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
“Apa yang dilakukan pemerintah ini adalah momentum untuk mengakhiri era kebocoran nilai dari sumber daya alam. Ini bukan semata urusan tambang, tapi soal kedaulatan ekonomi,” ujar Fakhrul di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Menurut Fakhrul, lebih dari 90 persen cadangan timah dan logam tanah jarang (rare earth elements/LTJ) Indonesia berada di Bangka Belitung. Namun selama bertahun-tahun, negara kehilangan potensi penerimaan hingga triliunan rupiah akibat praktik tambang ilegal dan lemahnya tata kelola.
“Kerugian ini bukan hanya soal uang, tapi cermin dari institusi ekonomi yang kehilangan daya kontrol. Dengan penertiban ini, pemerintah sedang mengembalikan trust premium terhadap negara,” jelasnya.
Fakhrul menekankan, penyitaan dan pengelolaan smelter ilegal oleh BUMN seperti PT Timah Tbk harus diikuti oleh sistem tata kelola baru yang efisien, akuntabel, dan berbasis inovasi.
“Ketika smelter ilegal disita dan dikelola BUMN, tantangannya bukan hanya soal legalitas, tapi soal kemampuan menciptakan value chain yang produktif. Tanah jarang adalah industri berbasis teknologi tinggi. Kalau tidak disertai riset, inovasi, dan governance yang transparan, kita hanya mengganti pelaku tanpa memperbaiki sistem,” tegasnya.
Ia menyebut tiga agenda utama yang perlu menjadi pijakan kebijakan pemerintah ke depan:
-
Kebijakan industri berbasis produktivitas, bukan proteksi semata;
-
Konsolidasi antara PT Timah, lembaga riset, dan universitas untuk mendorong hilirisasi logam tanah jarang berbasis knowledge capital;
-
Kemitraan publik–swasta (PPP) yang disiplin, akuntabel, dan memiliki indikator tata kelola (governance metrics) yang bisa diaudit publik.
Lebih lanjut, Fakhrul mendorong pemerintah menyusun blueprint tata kelola mineral strategis nasional agar arah kebijakan pasca-penertiban lebih terukur dan berkeadilan.
Menurutnya, dokumen tersebut harus mencakup pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah, mekanisme audit transparan atas nilai ekspor dan royalti, serta jalur transisi legalisasi bagi industri kecil agar tidak tersingkir dari sektor formal.
“Hanya dengan tata kelola yang stabil dan adil, keadilan bisa menjadi daya tarik investasi, bukan hambatannya,” ujarnya.
Fakhrul juga menyoroti pentingnya aspek sosial dalam kebijakan ini. Ia menilai PT Timah harus berperan sebagai bantalan bagi masyarakat yang selama ini bergantung pada tambang ilegal.
“Kita tidak ingin ada gejolak di industri. PT Timah harus mampu memberikan kompensasi dan penghidupan yang sama baiknya atau bahkan lebih bagi para penambang terdampak. Keberhasilan kebijakan ini justru akan diukur dari kemampuannya menjaga stabilitas sosial,” katanya.
Menurut Fakhrul, konsistensi kebijakan dan kepastian regulasi menjadi faktor penentu keberhasilan langkah Presiden Prabowo. Ia menegaskan bahwa pasar tidak menolak aturan ketat, selama regulasi jelas, konsisten, dan dapat diprediksi.
“Pasar menolak ketidakpastian, bukan aturan. Hukum yang tegas harus diikuti dengan tata kelola yang dapat diprediksi. Itulah yang akan mengubah Bangka Belitung dari kawasan tambang menjadi penggerak ekonomi nasional,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Fakhrul menegaskan bahwa kedaulatan ekonomi sejati bukan diukur dari kemampuan menambang, tetapi dari kemampuan menambah nilai atas sumber daya yang dimiliki.
“Kedaulatan ekonomi bukan hanya hak untuk menambang, tapi kemampuan menambah nilai dari sumber daya itu sendiri. Di situlah bangsa ini harus menempatkan martabat dan masa depannya,” pungkasnya. (hai)