koranindopos.com – Jakarta. Ketegangan politik kembali memuncak di Bolivia setelah bentrokan sengit terjadi antara aparat kepolisian dan para pendukung mantan presiden Evo Morales pada Kamis, 29 Mei 2025. Dalam insiden yang berlangsung di ibu kota La Paz tersebut, sebanyak dua puluh orang ditangkap, sementara tiga petugas polisi mengalami luka-luka.
Aksi unjuk rasa ini dipicu oleh desakan massa agar Evo Morales diizinkan kembali mencalonkan diri dalam pemilihan umum yang dijadwalkan pada Agustus mendatang, meskipun Mahkamah Konstitusi Bolivia sebelumnya telah secara resmi melarang Morales untuk ikut serta dalam kontestasi politik tersebut. Putusan pengadilan itu disokong oleh fakta bahwa batas akhir pendaftaran calon presiden telah lewat pada 19 Mei.
Dalam demonstrasi yang berlangsung panas tersebut, para pengunjuk rasa terlihat melemparkan batu dan petasan ke arah polisi, memaksa aparat membalas dengan tembakan gas air mata untuk membubarkan massa. Bentrokan menyebabkan kekacauan di beberapa ruas jalan utama dan menambah tekanan terhadap stabilitas politik negara yang sudah rapuh.
Morales, tokoh politik kontroversial yang memimpin Bolivia selama hampir 14 tahun sebelum mundur di tengah krisis politik pada 2019, masih memiliki basis pendukung yang kuat, terutama di kalangan masyarakat adat dan kelas pekerja. Larangan terhadap pencalonan ulangnya dianggap oleh sebagian pendukung sebagai bentuk ketidakadilan dan pembatasan hak politik.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum Bolivia belum memberikan tanggapan resmi atas desakan demonstran. Namun, para pengamat menyatakan bahwa tindakan kekerasan dan pelanggaran hukum dalam protes hanya akan semakin menyulitkan proses demokratis di negara tersebut.
Situasi ini memperparah kondisi sosial-politik Bolivia, yang baru-baru ini juga tengah menghadapi keadaan darurat akibat banjir besar di beberapa wilayah. Pemerintah saat ini berada di bawah tekanan ganda: menjaga ketertiban umum di tengah gejolak politik, sekaligus menanggulangi krisis kemanusiaan akibat bencana alam.(dhil)