Koranindopos.com – Jakarta. Pada persidangan pra peradilan di Pengadilan Negeri Jaksel, pada Selasa 19 Desember 2023, Majelis Hakim menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh Firli Bahuri (FB), Ketua nonaktif KPK.
Meskipun putusan ini harus dihormati, FB menyatakan ketidaksesuaian secara substansial dengan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
“Hakim seharusnya mempertimbangkan fakta-fakta bahwa saksi-saksi yang diperiksa pada tahapan penyidikan, tidak ada satu pun saksi yang menyatakan mengetahui, melihat, atau mendengar adanya pemerasan, penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji atau penyuapan oleh SYL kepada FB, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU Tipikor,” papar Prof. Dr. Suparji Ahmad, seorang ahli hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia melalui siaran persnya.
Laporan polisi yang langsung diikuti oleh Surat Perintah Penyidikan (sprindik) tanpa penyelidikan sesuai ketentuan yang berlaku menciptakan ketidaksesuaian prosedural. Fakta bahwa tidak ada saksi yang menyatakan adanya pemerasan atau suap oleh SYL kepada FB pada tahap penyidikan juga menjadi argumen FB.
Begitu juga dengan bukti berupa foto dianggap tidak sah sebagai alat bukti, tidak membuktikan tindak pidana, melainkan hanya menunjukkan pertemuan antara SYL, temannya, dan FB. FB menekankan bahwa alat bukti dalam menetapkan tersangka tidak memenuhi standar Mahkamah Konstitusi dan tidak menunjukkan adanya unsur tindak pidana korupsi.
FB juga mencatat bahwa resi penukaran valuta asing tidak dapat dijadikan bukti pemerasan atau suap, mengingat jenis dan seri valas tersebut tidak menunjukkan perbuatan ilegal. Oleh karena itu, penetapan tersangka FB dianggap tidak sah secara prosedural dan tidak berdasarkan hukum.
“Secara keseluruhan, alat bukti dalam menetapkan Tersangka tidak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif, tidak dipenuhi dalam menetapkan Tersangka, sehingga penetapan Tersangka tidak sah secara prosedural,” tegas Prof. Dr. Suparji Ahmad.
Dalam konteks ini, FB menyatakan bahwa penolakan permohonan praperadilan pertama menciderai rasa keadilan, dan untuk menjaga keadilan, FB akan mengajukan praperadilan yang kedua.