koranindopos.com – Jakarta, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melaporkan bahwa angka perkawinan dini di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir. Namun, tren ini diiringi oleh lonjakan yang mengkhawatirkan dalam hubungan seksual bebas di kalangan remaja.
Kepala BKKBN, dr. Hasto Wardoyo, mengungkapkan bahwa selama 10 tahun terakhir, tren pernikahan dini di Indonesia telah menunjukkan penurunan yang signifikan. Data terbaru menunjukkan bahwa angka perkawinan dini turun dari 40 orang per seribu penduduk menjadi 26 orang per seribu penduduk. Dengan populasi Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa, diperkirakan sekitar 7,1 juta orang masih terlibat dalam perkawinan dini.
“Penurunan ini positif, tetapi angka tersebut masih terlalu tinggi dan perlu usaha lebih untuk menekannya lebih rendah lagi,” ujar Hasto. Ia juga menyebut bahwa rata-rata usia perkawinan perempuan di Indonesia telah meningkat, dari yang sebelumnya di bawah 20 tahun menjadi 22 tahun.
Hasto menyambut baik penurunan angka perkawinan dini karena pernikahan pada usia muda, terutama jika disertai dengan kehamilan, memiliki berbagai risiko. Beberapa risiko tersebut termasuk berat badan bayi lahir rendah (BBLR), perdarahan, kelahiran prematur, dan bahkan potensi kematian ibu dan bayi.
Namun, meskipun tren perkawinan dini menurun, hal ini tidak serta merta menurunkan tingkat hubungan seksual bebas di kalangan remaja. Hasto mengungkapkan adanya lonjakan signifikan dalam jumlah hubungan seks bebas di kalangan remaja berusia 15-19 tahun. Data menunjukkan bahwa seks bebas pada remaja perempuan meningkat lebih dari 50 persen, sementara pada remaja laki-laki lonjakannya lebih besar lagi, mencapai lebih dari 70 persen.
“Data ini menunjukkan peningkatan drastis dalam perilaku perzinaan di kalangan remaja, yang menjadi tantangan serius bagi semua pemangku kepentingan untuk menurunkan tren ini,” tegas Hasto.
BKKBN memperingatkan bahwa seks bebas di usia muda memiliki dampak buruk yang signifikan, baik pada kesehatan fisik maupun mental. Risiko kesehatan fisik termasuk meningkatnya kemungkinan tertular penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV/AIDS, gonore, klamidia, sifilis, herpes simpleks, kutil kelamin, dan hepatitis B. Risiko ini semakin tinggi jika remaja sering bergonta-ganti pasangan tanpa menggunakan kontrasepsi yang tepat.
Dari sisi kesehatan mental, seks bebas dapat menyebabkan depresi, perasaan menyesal, agresivitas, dan kecemasan terkait kehamilan atau penyakit seksual. Depresi pasca persalinan pada remaja juga dapat mengganggu proses merawat bayi yang baru lahir dan menghambat perkembangan diri yang sehat.
Selain itu, seks bebas di usia dini dapat mengganggu pendidikan dan merampas kesempatan remaja untuk mengembangkan diri. “Ini adalah pekerjaan rumah yang besar bagi kita semua untuk melindungi generasi muda dari dampak buruk seks bebas,” kata Hasto.
Dengan peningkatan tren ini, BKKBN mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam menyosialisasikan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi dan moral kepada remaja, guna membentuk generasi yang sehat, berkarakter, dan bertanggung jawab. (hai)