Koranindopos.com – Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memulai sidang praperadilan yang diajukan oleh Firli Bahuri (FB), Ketua KPK non-aktif. Praperadilan ini memiliki tujuan untuk mengawasi aparat penegak hukum dan mencegah kesewenang-wenangan serta pelanggaran hak asasi manusia.
Ian Iskandar selaku kuasa hukum FB mengatakan, secara yuridis, praperadilan merupakan sarana pengawasan horizontal aparat penegak hukum dengan tujuan untuk menegakan hukum, keadilan, dan kebenaran.
“Dalam konteks substansif, praperadilan memiliki potensi untuk membatalkan penetapan Tersangka FB. Alasannya, laporan polisi tidak diikuti oleh penyelidikan, melainkan langsung menghasilkan Surat Perintah Penyidikan (sprindik) pada 9 Oktober 2023. Hal ini menunjukkan kesalahan prosedur dan ketidakadaan penyelidikan,” katanya melalui keterangan tertulis, Selasa (12/12/2023).
Pentingnya substansi praperadilan diperkuat oleh kenyataan bahwa saksi-saksi yang diperiksa pada tahap penyidikan tidak memberikan keterangan terkait pemerasan, gratifikasi, atau suap yang dilakukan oleh SYL kepada FB sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Selain itu, saksi-saksi yang diperiksa pada tahapan penyidikan, tidak ada satu pun saksi yang memberikan keterangan yang menyatakan mengetahui, melihat, atau mendengar adanya pemerasan, penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji atau penyuapan oleh SYL kepada FB, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ungkap Ian.
“Bukti berupa foto dianggap tidak memadai sebagai alat bukti sah, karena tidak membuktikan adanya pemerasan, gratifikasi, atau suap, melainkan hanya menunjukkan pertemuan antara SYL dan temannya dengan FB,” lanjutnya.
Pentingnya aspek kualitatif dan kuantitatif dalam alat bukti juga ditekankan, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa alat bukti harus memenuhi kedua unsur tersebut. Dalam hal ini, alat bukti yang digunakan dalam penetapan tersangka FB tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.
“Resi penukaran valuta asing dianggap tidak dapat menunjukkan adanya pemerasan, gratifikasi, atau suap, terutama karena valuta tersebut diperoleh sebelum penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi Kementerian Pertanian pada tahun 2020 hingga 2023,” katanya.
Sebagai hasilnya, penetapan tersangka FB atas dugaan tindak pidana korupsi dianggap tidak sah dan tidak berdasar hukum, mengingat tidak adanya bukti yang memadai untuk mendukung dakwaan sesuai dengan Pasal 12 e, Pasal 12 B, atau Pasal 11 UU Tipikor Jo. Pasal 65 KUHP. Putusan praperadilan diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum terkait kasus ini dalam waktu paling lambat 7 hari kerja.
“Dengan demikian penetapan tersangka FB atas dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor Jo. Pasal 65 KUHP berdasarkan S.Tap/325/XI/RES.3.3./Ditreskrimsus Tanggal 22 November 2023 tidak sah dan tidak berdasar atas hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat,” pungkasnya.