Koranindopos.com, Batam – Gelombang kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kini menjadi bahan perbincangan serius di kalangan pustakawan. Teknologi yang merambah hampir semua aspek kehidupan itu menghadirkan peluang besar, tetapi juga menimbulkan tantangan baru bagi dunia literasi. Kekhawatiran utama yang muncul adalah menurunnya minat baca serta berkurangnya kunjungan masyarakat ke perpustakaan, sebuah isu yang mengemuka dalam Kongres XVI Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) dan Seminar Ilmiah Nasional 2025 di Batam, Kamis (18/9).
Dalam forum yang mempertemukan para pustakawan, akademisi, serta perwakilan pemerintah ini, muncul kesepakatan bahwa profesi pustakawan dituntut untuk terus beradaptasi. Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas, Adin Bondar, menegaskan bahwa perpustakaan tetap memiliki peran penting dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Menurutnya, penguatan literasi menjadi kunci, dan tahun ini Perpusnas telah menyalurkan koleksi bacaan bermutu ke sepuluh ribu titik di seluruh Indonesia sebagai langkah nyata untuk memperluas akses masyarakat.
“Budaya membaca harus ditanamkan sepanjang hayat. Namun, dengan keadaan di mana kesenjangan jumlah pustakawan dan pemustaka sangat lebar, serta survei Kompas Agustus 2025 menunjukkan 27,11 persen responden menilai AI dapat menurunkan minat baca, dikhawatirkan terjadi penurunan jumlah kunjungan dan tingkat kegemaran membaca. Karena itu pustakawan dituntut lebih kreatif menghadirkan layanan yang relevan,” ujar Adin.
Dari luar negeri, pustakawan senior National Library Board (NLB) Singapura, Nadia Ramli, turut berbagi pengalaman. Ia memaparkan strategi yang dilakukan NLB untuk mengedukasi masyarakat agar melek informasi terkait perkembangan AI. Menurutnya, kesadaran literasi digital sangat penting agar publik tidak mudah terjerumus dalam pusaran misinformasi yang semakin marak di era teknologi. “Kami ingin memastikan AI digunakan dengan bertanggung jawab dan ingin menciptakan masyarakat yang literat sejak dari buaian hingga akhir usia,” urai Nadia.
Pemerintah daerah juga dianggap memegang peranan penting dalam menjaga keberlangsungan layanan perpustakaan. Sekretaris Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri, Indra Gunawan, mengingatkan bahwa penguatan literasi merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Ia menekankan perlunya dukungan regulasi, kelembagaan, dan alokasi APBD untuk memastikan keberlanjutan perpustakaan di daerah. “Dengan dukungan regulasi, kelembagaan, dan APBD, keberlanjutan perpustakaan di daerah bisa lebih terjamin,” katanya.
Lebih jauh, Indra menilai bahwa pemanfaatan AI di perpustakaan daerah memiliki potensi besar. Dari katalogisasi otomatis, layanan chatbot virtual, hingga sistem rekomendasi bacaan personal, semua bisa membantu meningkatkan kualitas pelayanan. Ia menambahkan bahwa integrasi data perpustakaan dengan konsep smart city dan e-government akan menjadi bagian dari masa depan layanan publik. Ia juga menyoroti pentingnya peran Bunda Literasi yang selama ini menjadi penggerak ekosistem literasi di banyak daerah.
Sementara itu, akademisi Universitas Indonesia, Fuad Gani, melontarkan pandangan kritis. Ia mengingatkan tentang apa yang disebut sebagai “Masalah Gorila”, yaitu situasi ketika AI berkembang melampaui kapasitas manusia untuk mengendalikannya. “Pertanyaannya bukan apakah AI akan menggantikan pustakawan, melainkan bagaimana pustakawan memastikan pengetahuan dan komunitas tetap menemukan jalannya di era AI,” tegasnya.
Dari sisi kebudayaan, budayawan Melayu, Rendra Setyadiharja, menyuarakan kehati-hatian dalam pemanfaatan teknologi ini. Menurutnya, AI dapat menjadi alat untuk memperkaya sekaligus melestarikan tradisi, namun hanya jika digunakan secara bijak. “AI membuka peluang besar, tetapi juga membawa risiko jika mengabaikan nilai-nilai budaya lokal,” ujarnya.
Meski banyak pandangan kritis muncul, kongres kali ini tetap menutup dengan semangat optimisme. Ikatan Pustakawan Indonesia menegaskan bahwa profesi pustakawan tidak akan tergantikan oleh teknologi. Sejarah mencatat bahwa pustakawan selalu mampu beradaptasi, mulai dari masa kejayaan mesin cetak hingga era digitalisasi. Di tengah derasnya arus inovasi, pustakawan diyakini tetap menjadi penjaga makna, pengawal etika, sekaligus penggerak utama dalam membangun budaya literasi bangsa. (Brg/Kul)