koranindopos.com – Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 diproyeksi akan melanjutkan tren positif. Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini tetap kuat pada kisaran 4,5 – 5,3 persen dan akan terus meningkat menjadi 4,7 – 5,5 persen pada 2024.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi dapat terwujud bila pemerintah konsisten melakukan lima strategi penguatan ekonomi, antara lain menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan penduduk, mendorong ekspor dengan beragam insentif fiskal, hilirisasi, meningkatkan investasi, dan fokus pada ekonomi hijau (green economy).
Mengacu pada Tax Outlook 2023, pemerintah menargetkan penerimaan pajak di tahun 2023 sebesar Rp1.718 triliun. Guna mencapai target tersebut, Direktorat Jenderal Pajak akan tetap melanjutkan reformasi perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan pajak, di antaranya pemberlakuan sistem PSIAP (Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan) dan AEoI (Automatic Exchange of Information) sebagai pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Didukung oleh fasilitas fiskal atas transformasi struktural dan green energy programe, serta adanya Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) sebagai strategi kepatuhan pajak yang bermuara pada pertumbuhan perekonomian dan penerimaan pajak untuk pembangunan negara dapat dioptimalisasi. Demikian kesimpulan dari diskusi panel bertajuk “Indonesia Tax Outlook 2023: Navigating Tax Opportunities and Risks” yang diselenggarakan oleh TaxPrime bersama The Titan Asia secara daring pada tanggal 2 Februari 2023.
Diskusi yang terdiri dari dua sesi dengan moderator Poppy Zeidra, seorang economics and business anchor ini diselenggarakan untuk memberi gambaran pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan perpajakan, kebijakan perpajakan, Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), strategi kepatuhan pajak, dan pengaruh transformasi struktural terhadap perubahan proses bisnis, serta pentingnya pengelolaan Family Office.
Tren Positif Pertumbuhan Ekonomi dengan Reformasi Perpajakan
Pada sesi pertama diskusi ini menghadirkan panelis Machfud Sidik (Senior Advisor TaxPrime, Direktur Jenderal Pajak tahun 2000 -2001), Robert Pakpahan (Senior Advisor TaxPrime, Direktur Jenderal Pajak tahun 2017 – 2019), Wawan Setiyo Hartono (Senior Advisor TaxPrime), Emanuel Dewo Adi Winedhar (Senior Advisor TaxPrime), Teguh Wisnu Purbaya (Tax Compliance and Audit Advisor TaxPrime), dan Bayu Rahmat Rahayu (Transfer Pricing Compliance and International Tax Advisor TaxPrime).
Paparan para panelis dalam sesi ini menekankan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 secara optimistis diprediksi tumbuh dengan tren positif berkat reformasi perpajakan yang tiada henti. Ini memberi angin segar di tengah isu ketidakpastian ekonomi, resesi global, terhambatnya rantai pasok produksi, bahkan konflik Rusia-Ukraina.
Machfud Sidik mengungkapkan, selain langkah fundamental dan reformasi perpajakan, Pemerintah Indonesia telah melakukan banyak mitigasi menghadapi perlambatan ekonomi, termasuk di antaranya krisis energi, isu crypto currency, serta memaksimalkan potensi komoditas yang harganya meningkat tajam. Jika di banyak perusahaan persoalan pajak relatif terkelola lebih baik, yang perlu ditingkatkan adalah peningkatan literasi di kalangan UMKM.
Optimisme pertumbuhan ekonomi di Indonesia relatif lebih tenang dihadapi, begitu paparan Robert Pakpahan. Menurutnya, pemerintah secara berkelanjutan melakukan reformasi perpajakan, penerapan teknologi otomasi perpajakan, kerja sama multilateral yang makin diperkuat lewat Advance Pricing Agreement (APA), serta kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Adanya signifikan perubahan dalam dalam sistem administrasi, maka compliance pajak tidak dapat dihindari.
Menyikapi Pembaharuan Sistem Administrasi Perpajakan melalui Pemanfaatan Fasilitas dan Menjaga Kepatuhan Perpajakan
Dalam penjelasannya, Wawan Setiyo Hartono mengungkapkan walaupun ada global uncertainty, Indonesia diprediksi akan mencapai pertumbuhan ekonomi walau tidak sebaik sebelumnya. Untuk merealisasikan pertumbuhan perlu pendanaan. Pemerintah melalui DJP melakukan reformasi untuk pertumbuhan penerimaan melalui Volunteraly Compliance, yaitu kepatuhan melalui sebuah sistem yang mendesain untuk patuh. Perusahan dapat memanfaatkan fasilitas dan harus menjaga kepatuhan.
Selain penguatan regulasi dari pemerintah, Teguh Wisnu Purbaya menyoroti pembaharuan sistem administrasi perpajakan dan otomasi dari otoritas. Perusahaan harus mengantisipasi dengan meningkatkan internal compliance dan menerapkan strategi perpajakan yang baik dan tidak lupa melakukan reviu dan mitigasi atas transaksi yang sudah ada dan akan dilakukan.
Terkait mitigasi risiko perusahaan, Bayu Rahmat Rahayu mengungkapkan bahwa mitigasi risiko paling memungkinkan apabila sudah dapat mengidentifikasi risiko. Dalam konteks Transfer Pricing berada ditempat mereka melakukan usaha. Cara mencegah risiko terjadi adalah menyiapkan planning dan berdiskusi dengan Ditjen Pajak untuk mengajukan APA.
Menurut Emanuel Dewo Adi Winedhar, dengan adanya landscape perubahan kebijakan, baik domestik maupun internasional menimbulkan risiko bagi Wajib Pajak. Untuk itu perlu melihat kembali arrangement-nya sudah sesuai atau tidak. Langkahnya adalah melihat internal policy, untuk Transfer Pricing adalah planning dan monitoring. Langkah kedua untuk pencegahan, pilihan yang direkomendasikan adalah APA untuk mencegah dispute dan risiko.
Pengelolaan “Family Office” bagi Kalangan “Crazy Rich”
Pada sesi kedua diskusi ini dipaparkan tentang semakin mudahnya pengelolaan “Family Office” dalam kaitannya dengan kewajiban perpajakan. Sesi ini menghadirkan panelis Muhamad Fajar Putranto (Senior Advisor TaxPrime dan TheTitan.Asia), dan Suharno, Nadia Ambar Shofiya, serta Maisya Sabhira (tim advisor).
Muhamad Fajar Putranto mengingatkan, 95 persen bisnis di Indonesia dimiliki para individu pribadi dan keluarga. Sudah usai era penghindaran terhadap perpajakan yang sering dilakukan perusahaan keluarga. Apalagi, teknologi otomasi dalam perpajakan kini sangat friendly bagi pebisnis mana pun.
Suharno mengungkapkan, hampir 90 persen bisnis di Indonesia milik pribadi atau keluarga. Sifat bisnis jenis ini cenderung tidak mengelola aspek perpajakannya, baik karena alasan abai, tidak memiliki literasi memadai, atau secara sengaja menghindarkannya. Padahal, agar bisnis yang biasa disebut sebagai “Family Office” ini dapat berkembang, kepatuhan pada aturan perpajakan menjadi bagian keberlangsungan bisnis sekaligus terjaminnya pengelolaan dan tongkat estafet bagi generasi berikutnya.
“Akhir-akhir ini, Generasi Z yang masuk kalangan ‘crazy rich’ semakin banyak. Mereka harus memperhatikan pertumbuhan bisnis sekaligus mempersiapkannya bagi anak-anak mereka di masa depan. Kelak mereka tidak hanya meninggalkan harta, tapi juga kewaiban pajak,” tambahnya.
TaxPrime adalah konsultan pajak yang berdiri tahun 2012 dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia. TaxPrime memiliki lebih dari 200 advisor, di mana 26 di antaranya memiliki pengalaman sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang menduduki berbagai posisi. Dua dari 26 advisornya adalah mantan Direktur Jenderal Pajak Indonesia, pejabat tertinggi di otoritas pajak Indonesia. (ris)