Oleh : Lili Retnosari, Nuri Taufiq, dan I Made Giri Suyasa*
koranindopos.com – Di tengah ramainya Tunjangan Hari Raya (THR) yang telah diberikan kepada para Aparatur Sipil Negara (ASN) dan para pekerja/karyawan, berita bantuan sosial yang kabarnya akan dicairkan di bulan April sebelum lebaran tiba pun menjadi perbincangan. Bagaimana tidak, para keluarga penerima manfaat (KPM) tentu tidak sabar untuk menerima bansos tersebut. Pencairan bansos seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), BLT mitigasi risiko pangan, dan bantuan beras 10 kg yang kabarnya akan cair dalam waktu dekat, tentu menjadi angin segar bagi para keluarga penerima manfaat yang sangat membutuhkan. Ya, sesuai janji pemerintah, memang keempat jenis bansos tersebut lah yang akan cair di tahun 2024 ini.
PKH merupakan bantuan tahunan yang diberikan oleh Pemerintah kepada KPM yang terdaftar di Daftar Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Penyaluran tahap pertama untuk triwulan I telah dilakukan di bulan Februari lalu. Begitu juga dengan BPNT/Kartu Sembako dan BLT Mitigasi Risiko Pangan. Penyaluran tahap pertama kedua bansos ini juga telah disalurkan kepada KPM pada Februari lalu. Para penerima BLT Mitigasi Risiko Pangan sama dengan penerima BPNT/Kartu Sembako yang juga berdasarkan DTKS Kemensos. BLT Mitigasi risiko pangan atau dikenal juga sebagai BLT Lanjutan penebalan Kartu Sembako, dilakukan untuk memitigasi risiko kenaikan harga pangan sebagai dampak ketidakpastian global setelah BLT Elnino selesai di tahun 2023 lalu.
Berbeda dengan tiga bansos tersebut, program bantuan beras 10 kg per KPM, tidak dikelola oleh Kemensos dan tidak pula berdasarkan DTKS. Penerima manfaat Bantuan Pangan Beras diambil menggunakan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Program Bantuan Pangan Beras bertujuan untuk menjaga stabilitas pangan dan menekan inflasi. Bantuan ini merupakan arahan Presiden Jokowi yang kemudian diimplementasikan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) dengan menugaskan Perum Bulog untuk menyalurkan kepada masyarakat.
Dari empat jenis bantuan sosial yang akan disalurkan pada tahun 2024 tersebut, terlihat bahwa data dasar yang digunakan untuk menentukan penerima manfaat masih berbeda-beda, dan belum menggunakan basis data terupdate. Padahal, hal paling penting adalah basis data yang digunakan sebagai dasar pemberian program. Data yang digunakan seharusnya bersumber dari satu basis data yang dapat diutilisasi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Penggunaan basis data yang berbeda tentu dapat menimbulkan berbagai masalah seperti distribusi program yang tumpang tindih, ketidaktepatan sasaran, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sinergi antar Kementerian/Lembaga dan pembaruan sistem pengelolaan data menjadi hal krusial yang perlu dilakukan, sehingga bantuan sosial dapat tersalurkan kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya.
Selain DTKS dan P3KE, Data Regsosek yang pendataan awalnya telah dilakukan pada tahun 2022 lalu, dapat menjadi solusi sebagai basis data tunggal untuk dijadikan acuan kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah daerah dalam menentukan target penerima bantuan sosial. Sampai saat ini, data Regsosek belum dimanfaatkan secara optimal, padahal hampir semua variabel yang terdapat dalam DTKS dan P3KE tercantum juga dalam Regsosek. Oleh karena itu, penggunaan data Regsosek sebagai basis data perlu untuk segera diupayakan. Harapannya, dengan data yang lebih up-to-date dan akurat, dapat mempermudah pemerintah dalam penentuan sasaran program dan mengurangi ketidaktepatan sasaran.
Apalagi, menurut Kementerian Keuangan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2023, masalah akurasi basis data merupakan tantangan utama pada program bantuan sosial dan program perlindungan sosial lainnya. Kurang akuratnya basis data ini lah yang menyebabkan masih terjadinya ketidaktepatan sasaran (targeting error) penerima bantuan sosial, baik inclusion maupun exclusion error. Inclusion error adalah ketika suatu rumah tangga seharusnya tidak berhak menerima program, namun justru menerima program. Sementara itu, exclusion error adalah kesalahan sasaran program karena rumah tangga yang seharusnya menerima program, namun justru tidak menerima program. Tindakan konkret untuk mengatasi masalah ini menjadi sangat penting, agar program yang dijalankan lebih optimal untuk mencapai tujuan peningkatan akses ke layanan dasar, peningkatan kesejahteraan serta memutus mata rantai kemiskinan.
Selanjutnya, dengan adanya peningkatan alokasi anggaran bantuan sosial di tahun ini, pemerintah diharapkan dapat lebih maksimal lagi dalam mengentaskan kemiskinan dan juga mengurangi ketimpangan. Apalagi, persentase penduduk miskin dan tingkat ketimpangan saat ini masih cukup jauh dari target yang telah ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan berada di level 6,0-7,0 persen dan tingkat ketimpangan menurun menjadi sebesar 0,360-0,374 di tahun 2024. Namun, berdasarkan data BPS, hingga Maret 2023, persentase penduduk miskin Indonesia masih sebesar 9,36 persen atau sebanyak 25,90 juta orang. Sementara itu, tingkat ketimpangan yang diukur menggunakan gini ratio masih sebesar 0,388. Untuk mencapai atau paling tidak mendekati target yang telah ditetapkan, tentu perlu kerja keras dan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk dalam koordinasi pengelolaan anggaran.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah terkait bagaimana alokasi anggaran yang ada akan disalurkan secara merata dan adil ke seluruh lapisan masyarakat yang berhak mendapatkan program. Transparansi dalam penggunaan dana publik sangat penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan atau pemborosan anggaran, apalagi kasus korupsi dana bansos beberapa kali terjadi. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme pengawasan yang ketat dan akuntabilitas yang jelas dari pemerintah terkait dengan penggunaan anggaran tersebut.
*Semua penulis merupakan Statistisi di Badan Pusat Statistik