koranindoos.com – Jakarta. Kantor media Tempo menjadi sasaran teror beruntun yang mengkhawatirkan, mulai dari kiriman kepala babi hingga bangkai tikus dengan kepala terpotong. Peristiwa ini tidak hanya menjadi ancaman serius terhadap kebebasan pers, tetapi juga menyoroti lemahnya komunikasi pemerintah dalam menangani kasus yang menyangkut ancaman terhadap jurnalisme.
Tanggapan pemerintah terhadap peristiwa ini justru menambah kecaman dari berbagai pihak. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, memberikan pernyataan yang dinilai tidak menunjukkan empati terhadap ancaman yang dialami media. Pernyataannya terkait “memasak kepala babi” yang disampaikan di hadapan puluhan jurnalis dianggap tidak hanya meremehkan insiden teror, tetapi juga berpotensi menghina profesi jurnalistik itu sendiri.
Sebagai pejabat tinggi negara, Hasan seharusnya memahami bahwa ancaman terhadap media bukanlah sekadar gangguan biasa, melainkan sebuah serangan terhadap demokrasi. Dalam komunikasi krisis, respons yang ideal harus mengedepankan empati, keseriusan, serta komitmen untuk menindaklanjuti kejadian dengan tindakan nyata, bukan sekadar komentar bernada candaan yang tidak pada tempatnya.
Kasus ini juga mencerminkan tren berbahaya dalam cara pemerintah merespons kritik dan kebebasan pers. Dalam demokrasi yang sehat, media berfungsi sebagai pilar keempat yang mengawasi jalannya pemerintahan. Alih-alih mendapat perlindungan, media justru menjadi sasaran ancaman tanpa adanya sikap tegas dari otoritas yang seharusnya menjaga kebebasan berekspresi.
Publik berharap pemerintah tidak hanya memberikan pernyataan yang bertanggung jawab tetapi juga memastikan adanya tindakan hukum terhadap pelaku teror ini. Tanpa langkah konkret, kepercayaan terhadap komitmen pemerintah dalam menjaga kebebasan pers dan demokrasi akan terus menurun. Keamanan jurnalis dan kebebasan berekspresi harus menjadi prioritas yang dilindungi oleh negara, bukan sesuatu yang diabaikan atau diremehkan.(dhil)