Koranindopos.com – Jakarta. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI mengantisipasi paduan antara politisasi identitas, disinformasi dan ujaran kebencian yang memungkinkan menjadi ancaman nonmiliter di Pemilu 2024. Ancaman tiga aspek tersebut dapat membahayakan integritas dan keberhasilan proses pemilu.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja bercermin pada pemilu sebelumnya di mana politik identitas, disinformasi dan ujaran kebencian menguat melalui media sosial. Pada Pilkada DKI 2017 media sosial memuat secara berlebihan isu politik identitas yang berlanjut pada Pemilu 2019. ”Bahkan ada kecenderungan juga mengadu teman TNI dan Polri pada titik itu,” ungkap Bagja dalam rilis resmi Bawaslu RI, Rabu (28/6).
Bagja menjelaskan, politisasi identitas di Indonesia berkaitan dengan masalah etnis, ideologi, kepercayaan, dan juga kepentingan-kepentingan lokal yang direpresentasikan oleh elite melalui artikulasi politik mereka. Sedangkan disinformasi, merujuk pada penyebaran informasi yang salah, menyesatkan, atau disengaja untuk menipu atau mempengaruhi opini publik.
”Sedangkan ujaran kebencian, merujuk pada komunikasi yang menyebarkan, mendorong, atau memperkuat sentimen atau sikap permusuhan, kebencian, atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, etnisitas, agama, gender, orientasi seksual, atau karakteristik tertentu lainnya,” jelas Bagja.
Menurut Bagja, tiga hal tersebut sangat mungkin untuk berpadu dan menyebabkan permasalahan di Pemilu 2024. Ujaran kebencian yang dibarengi dengan disinformasi dan ujaran kebencian akan mempengaruhi kondisi masyarakat terhadap situasi kenyamanan Pemilu 2024. ”Isu ini sudah dimulai lagi saat ini jelang Pemilu 2024,” tutur dia.
Pada saat Pilkada DKI 2017 lalu, lanjut Bagja, muncul ajakan untuk anti terhadap ras tertentu yang menguat di media sosial. Saat ini muncul kembali di media sosial yang dibarengi ujaran kebencian. ”Sekarang sudah mulai menyerang beberapa peserta pemilu. Beberapa kali kita baca Twitternya bahasanya masih lumayan soft, tapi sudah mulai menyerang,” jelas Bagja.
Bagja menegaskan bahwa Bawaslu RI telah menyiapkan beberapa strategi untuk menangkal tiga aspek tersebut. Seperti penguatan regulasi dan hukum terkait peningkatan kapasitas SDM pengawas, penegakan hukum dan sanksi, kampanye edukasi dan Sosialisasi, dan kerjasama di ruang digital.
”Kemudian IKP (Indeks Kerawanan Pemilu) itu bertujuan sebagai alat pemetaan potensi dan deteksi dini agar politisasi identitas dapat direduksi. Dalam konteks IKP, Bawaslu melakukan penilaian terhadap berbagai hal yang berkaitan apa saja yang kemudian bisa menjadi titik rawan pemilu terutama yang berkaitan dengan isu sosial politik,” tandas Bagja.