JAKARTA, koranindopos.com – Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) RI Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) menuai reaksi dari berbagai kalangan. Bahkan memunculkan petisi penolakan dari kalangan pekerja. Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani merespons polemik itu dengan meminta pemerintah agar mengkaji ulang, bahkan mencabut peraturan tersebut.
Netty menyebut muatan permenaker tersebut mencederai rasa kemanusiaan dan mengabaikan kondisi pekerja yang tertekan dalam situasi pandemi. Ada beberapa pasal dalam permenaker yang muatannya menunjukkan ketidakpekaan pemerintah pada situasi pandemi yang membuat pekerja ter-PHK. Misalnya, aturan mengenai penerimaan manfaat Jaminan Hari Tua yang baru diberikan kepada peserta setelah berusia 56 tahun. “Bayangkan, seorang peserta harus menunggu 15 tahun untuk mencairkan JHT-nya jika ia berhenti di usia 41 tahun. Ini tidak masuk akal,” tegas Netty dalam siaran persnya, Minggu (13/2).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai aturan tersebut berlaku pada peserta yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri, terkena PHK atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Berdasar data BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2021, total klaim peserta yang berhenti bekerja karena pensiun hanya 3 persen, sedangkan pengunduran diri 55 persen dan alasan terkena PHK mencapai 35 persen. “Berhenti bekerja karena PHK tentu bukan keinginan pekerja. Berhenti karena pengunduran diri pun bisa karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman,” cetus dia.
Karena itu, Netty mempertanyakan kebijakan pemerintah yang terkesan menahan pencairan JHT yang merupakan hak pekerja. Bukankah dana yang tidak seberapa itu justru dibutuhkan bagi pekerja untuk bertahan hidup di masa sulit seperti sekarang. “Jika harus menunggu sampai usia 56 tahun, bagaimana keberlangsungan pendapatan pekerja?” ucapnya. Dia meminta pemerintah mencabut peraturan tersebut sebagai bukti empati dan keberpihakan pada pekerja di tengah pandemi yang berdampak pada pemiskinan rakyat.
Apalagi, lanjut Netty, gelombang PHK dan merumahkan pekerja makin besar. Ini menjadi gambaran betapa pandemi menggerus kemampuan ekonomi keluarga. Jika pemerintah tidak menggubris peringatan ini, dia khawatir tekanan hidup dan kesulitan akan membuat rakyat semakin keras menolak dan melawan pemberlakuan peraturan tersebut. Legislator dapil Jawa Barat VIII itu juga meminta pemerintah agar memperbaiki tata kelola komunikasi publiknya terkait penerapan aturan. “Pemerintah harus dapat membuka ruang dialog dan mendengarkan aspirasi masyarakat dengan baik,” tegas Netty.(hai)