JAKARTA, koranindopos.com – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merespons polemik soal pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dalam beberapa hari terakhir mengundang perdebatan di ruang publik. Melalui Kepala Biro Humas, Chairul Fadhly Harahap, pihak Kemnaker menjelaskan keputusan mereka mensyaratkan pencairan JHT saat peserta berusia 56 tahun merupakan amanat undang-undang. Adapun dasar hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Chairul menjelaskan, setelah mempertimbangkan banyaknya program jaminan sosial untuk para buruh, maka khusus JHT dikembalikan kepada fungsinya. Yakni sebagai dana yang dipersiapkan agar pekerja di masa tuanya memiliki harta sebagai biaya hidup di masa sudah tidak produktif lagi. Karena itu, uang JHT sudah seharusnya diterima oleh buruh di usia pensiun, cacat total, atau meninggal dunia. Ketentuan itu telah dimasukkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) RI Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
“Program JHT merupakan program perlindungan untuk jangka panjang,” jelas Chairul dalam siaran pers Kemnaker, Minggu (13/2). Menurutnya, pemerintah telah meluncurkan berbagai jenis kebijakan dan program jaminan sosial untuk pekerja dalam menghadapi berbagai resiko, baik saat bekerja maupun saat sudah tidak bekerja. Seperti kecelakaan, sakit, meninggal dunia, PHK, hingga situasi usia yang sudah tidak produktif. Berbagai jenis jaminan sosial tersebut yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian (JKM), JHT, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
“Sedangkan yang terkait dengan pekerja yang mengalami PHK, mereka berhak mendapatkan pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan uang jaminan hari tua,” ujar Chairul. Pemerintah juga meluncurkan program baru sebagai bantalan untuk mereka yang terkena PHK, yakni Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) berupa uang tunai, pelatihan kerja dan akses informasi pasar kerja, sehingga diharapkan pekerja bisa survive dan memiliki peluang besar untuk mendapatkan pekerjaan baru. “Sedangkan JHT berasal dari akumulasi iuran wajib dan hasil pengembangannya,” sambung dia.
Chairul menjelaskan, meskipun tujuannya untuk perlindungan di hari tua (yaitu memasuki masa pensiun), atau meninggal dunia, atau cacat total tetap, UU SJSN memberikan peluang bahwa dalam jangka waktu tertentu, bagi peserta yang membutuhkan, dapat mengajukan klaim sebagian dari manfaat JHT-nya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015, klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila peserta telah mengikuti program JHT paling sedikit 10 tahun. “Adapun besaran sebagian manfaatnya yang dapat diambil yaitu 30 persen dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah, atau 10 persen dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun,” papar Chairul.
Dalam PP tersebut, lanjut Chairul, telah ditetapkan bahwa yang dimaksud masa pensiun adalah usia 56 tahun. Skema ini untuk memberikan pelindungan agar saat hari tuanya nanti pekerja masih mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Jadi kalau diambil semuanya dalam waktu tertentu, maka tujuan dari perlindungan tersebut tidak akan tercapai,” kata Chairul. Atas dasar itulah, Kemnaker menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Sesungguhnya terbitnya Permenaker ini sudah melalui proses dialog dengan stakeholders ketenagakerjaan dan K/L terkait.(hai)