Koranindopos.com – Jakarta. Sidang lanjutan praperadilan perkara yang melibatkan Firli Bahuri (FB), Ketua KPK non aktif, menghadirkan Prof. Dr. Suparji Ahmad, seorang ahli hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia sebagai saksi ahli. Dalam keterangannya, ia menyampaikan pandangannya terhadap alat bukti yang digunakan untuk menetapkan status tersangka dalam Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Prof. Suparji, alat bukti yang terdiri dari saksi, surat, ahli, dan petunjuk harus tidak hanya memenuhi unsur kuantitatif tetapi juga harus memenuhi unsur kualitatif dan kausalitas. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif.
“Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif,” ungkapnya, Jumat (15/12/2023) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam konteks penetapan tersangka, Prof. Suparji menekankan perlunya adanya saksi dan surat yang membuktikan adanya mens rea dan actus rea, pemenuhan unsur-unsur pasal yang dijadikan dasar penetapan tersangka.
Proses penetapan tersangka untuk tindak pidana pemerasan, menurutnya, harus didukung oleh adanya saksi dan surat yang membuktikan perbuatan memaksa dengan jelas.
“Dalam hal tindak pidana pemerasan, secara prosedural penetapan tersangka harus didukung adanya saksi dan surat yang membuktikan adanya perbuatan memaksa seseorang, yaitu suatu perbuatan yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain,” ujarnya.
Prof. Suparji juga menyoroti tindak pidana korupsi, di mana penetapan tersangka harus memenuhi persyaratan adanya meeting of minds antara pemberi dan penerima suap. Meeting of minds merupakan kesepahaman transaksional untuk menerima hadiah atau janji yang terkait dengan kekuasaan atau kewenangan jabatan.
“Meeting of minds merupakan nama lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional untuk menerima hadiah atau janji yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya,” jelasnya.
Dalam kasus tindak pidana gratifikasi, ahli hukum ini menegaskan bahwa penetapan tersangka harus didukung oleh alat bukti yang menunjukkan adanya penerimaan hadiah atau janji yang terkait dengan kekuasaan atau kewenangan jabatan.
Prof. Suparji menegaskan bahwa prosedural penetapan tersangka yang tidak memenuhi standar alat bukti yang berkualitas dan berkausalitas dapat dibatalkan melalui mekanisme praperadilan. Dalam hal ini, kualitas dan hubungan sebab-akibat antara alat bukti dengan perbuatan tersangka menjadi kunci penentu dalam pembatalan status tersangka.
“Pada akhirnya, secara prosedural, penetapan tersangka yang tidak memenuhi alat bukti yang berkualitas dan berkausalitas, yaitu tidak ada alat berupa saksi-saksi atau surat-surat yang menunjukkan dan membuktikan kapan, di mana, oleh siapa, kepada siapa adanya perbuatan seseorang memeras, menyuap dan menerima gratifikasi, dapat dibatalkan melalui mekanisme praperadilan,” pungkasnya.