koranindopos.com – Jakarta. Anggota Komisi VI DPR RI, Luluk Nur Hamidah, memberikan dukungan penuh terhadap upaya Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dalam mengusut penggunaan gas air mata, water canon, hingga pasukan huru-hara bersenjata lengkap yang bertindak represif terhadap warga di Pulau Rempang. Menurutnya, aparat telah diduga melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) dalam insiden pengosongan lahan tersebut.
Luluk menyatakan keprihatinannya atas tindakan aparat yang diduga mengarahkan tembakan gas air mata ke sekolah-sekolah, yang mengakibatkan para siswa mengalami trauma. Ia juga mendukung pengusutan lebih lanjut oleh Komnas HAM untuk melihat aspek pelanggaran HAM secara komprehensif. Pernyataan ini ia sampaikan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta.
Menurut Luluk, adanya laporan ancaman dan intimidasi yang diterima masyarakat Pulau Rempang semakin memperkuat dugaan pelanggaran HAM. Ia menyesalkan kejadian ini karena proyek investasi seharusnya tidak merugikan masyarakat.
“Ancaman dan intimidasi tidak sepatutnya diumbar dengan dalih Pembangunan Strategis Nasional (PSN). Investasi memang penting, tapi melindungi warga negara, termasuk hak-hak masyarakat adat, juga merupakan kewajiban konstitusi. Investasi demi pembangunan tidak boleh merugikan rakyat,” tegas Politisi Fraksi PKB ini.
Luluk juga mengindikasikan bahwa bentrokan yang terjadi di Pulau Rempang telah memberikan dampak psikologis yang serius bagi masyarakat yang menjadi korban represi aparat keamanan, terutama anak-anak dan perempuan. Oleh karena itu, ia berharap ada pendampingan perbaikan mental yang disediakan oleh pemerintah bagi para korban.
“Situasi di Rempang telah menimbulkan ketakutan, terutama pada para ibu dan anak-anak. Konflik semacam ini pasti akan menimbulkan trauma dan ketakutan, dan perempuan serta anak-anak menjadi pihak yang paling menderita,” ungkap Anggota Baleg DPR RI ini.
Menyusul bentrokan yang terjadi, Luluk mendorong pemerintah untuk menghentikan terlebih dahulu proyek pembangunan Rempang Eco-City sampai ada titik temu yang adil, khususnya bagi masyarakat Pulau Rempang. Ia membandingkan bagaimana berbagai negara maju mengedepankan proses sosialisasi yang panjang dan dialog dalam penerapan kebijakan sehingga tidak ada penolakan dari warga.
“Saya menyaksikan langsung pusat bisnis baru di China sedang dibangun besar-besaran, tapi di sana tidak ada cerita warga setempat diusir, justru mereka dijamin dan dilindungi keberadaannya,” kata Luluk.
Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM, Saurlin Siagian, menyatakan bahwa konflik di Pulau Rempang sudah muncul sejak lama. Selain masalah komunikasi, konflik ini muncul karena ada yang tidak beres dengan kebijakan negara. Komnas HAM telah menyatakan bahwa tidak boleh ada penggusuran dalam menyelesaikan konflik di Pulau Rempang.
Setelah bertemu dengan warga Pulau Rempang, Komisioner Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, juga mencatat bahwa semua warga menyatakan menolak relokasi yang akan dilakukan oleh pemerintah. Warga sebenarnya mendukung rencana pembangunan proyek strategis nasional di wilayah Batam, namun pertanyaannya adalah mengapa warga harus dipindahkan. (dni)