koranindopos.com – Jakarta. Anggota Komisi IX DPR RI, Arzeti Bilbina, mengecam dugaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter spesialis anestesi di salah satu rumah sakit besar di Jawa Barat. Kasus yang mencuat tersebut dinilai sangat memprihatinkan karena dianggap dapat menodai kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan nasional.
Dalam kesempatan mengikuti Kunjungan Kerja Komisi IX DPR RI ke Provinsi Bali, Arzeti menyoroti pentingnya pelayanan kesehatan yang prima, terutama bagi keluarga pasien yang membutuhkan perawatan terbaik pada saat kondisi kritis. “Orang tua dalam kondisi sakit tentu membutuhkan perawatan dan pengobatan yang terbaik dari dokter. Ketika kondisi pasien kritis, keluarga pasti memilih rumah sakit yang pelayanannya sudah terbukti, baik dari sisi dokter, pengobatan, dan lainnya,” ujarnya kepada Parlementaria.
Politisi dari Fraksi PKB ini menyesalkan praktik menyimpang yang dilakukan oleh oknum tenaga medis di tengah situasi genting tersebut. Menurutnya, penyalahgunaan kepercayaan masyarakat oleh dokter yang telah melalui proses pendidikan dan seleksi ketat merupakan indikasi kegagalan sistem pengawasan di institusi kesehatan. “Terlebih ini adalah dokter spesialis anestesi. Tidak semua dokter memiliki keahlian tersebut. Mereka punya wewenang khusus dalam menangani obat-obatan, bahkan memegang akses kunci ruang anestesi,” jelas Arzeti yang merupakan legislator dari Dapil Jatim I.
Arzeti menekankan bahwa rumah sakit besar harus mampu menerapkan sistem pengawasan internal secara ketat agar kejadian serupa tidak terulang kembali. “Ini sangat mengganggu masyarakat. Saat keluarga berharap pada dokter untuk menyembuhkan, justru malah menambah beban psikologis. Harus ada regulasi yang diperkuat dari sisi kesehatan, rumah sakit, hingga pendidikan dokter,” tegasnya.
Lebih jauh, Arzeti mendesak agar pemerintah segera memperketat proses seleksi dan pengawasan terhadap dokter spesialis. Hal ini termasuk pelaksanaan tes kejiwaan dan evaluasi etika profesi agar calon spesialis yang akan bertanggung jawab atas nyawa pasien telah memenuhi standar yang sangat sensitif. “Kita berharap ada efek jera. Tes-tes dan proses seleksi harus diperketat lagi sebelum mereka menjalani profesi spesialis yang sangat sensitif ini,” pungkas Arzeti. (hai)