koranindopos.com – KOTA wali. Wali kota. Beda. Dua hal tak sama. Makna yang pertama adalah kota yang banyak melahirkan para wali Tuhan. Umat Muslim mengenalnya dengan sebutan Waliyulloh. Orang alim yang mendapat petunjuk untuk menyebarkan agama Islam setelah para sahabat dan nabi terakhir, Muhammad SWA, wafat. Sementara wali kota, kita semua sudah tahu. Itu adalah jabatan orang yang mengepalai sebuah kota administratif.
Kenapa uraian ini perlu saya sampaikan. Mungkin terasa sepele. Tapi ini penting. Di era sekarang mungkin orang telah lupa untuk membedakannya. Bahwa setiap umat manusia adalah wali Tuhan. Kepanjangan tangan Tuhan di muka bumi. Tetapi nyatanya kita justru sibuk dengan urusan sendiri. Urusan berpolitik hanya demi kursi wali sebuah kota. Ya wali kota. Entah jabatan politik apalagi. Mungkin bupati, menteri, legislator, atau presiden sekalipun. Atau kita terlalu sibuk mengeksploitasi alam. Yang pasti, kesibukan itu membuat kita lupa bahwa ada aturan-aturan Tuhan dan alam semesta ini yang mungkin terabaikan.
Karena itu Demak menjadi pengingat. Ya insiden banjir bandang dahsyat di Kota Wali itu belakangan ini menggemparkan perhatian kita semua. Seakan ada pesan “keramat” dari kota itu. Mungkin analisis ini juga salah. Saya juga bukan pakar yang secara empiris bisa menjelaskan penyebab bencana itu. Namun, ada hal yang mengusik saya untuk mencoba membaca faktor-faktor penyebab, sehingga air sedemikian banyak bisa meluap ke daratan.
Padahal, kita tahu dari beragam berita yang tersiar bahwa banjir itu disebabkan oleh jebolnya tanggul Sungai Irigasi Jratun Seluna pada Minggu (17/3/2024) sore. Lokasinya di Kampung Dukuh Tugu, Desa Ngemplik Wetan, Kecamatan Karanganyar. Kita bisa membayangkan seberapa banyak volume air yang tertampung di sebuah sungai irigasi. Sehingga mampu menyulap daratan menjadi lautan. Hanya menyisakan pucuk atap-atap rumah warga yang terlihat. Ini perlu penelitian dalam dan panjang. Biar pakarnya yang bicara.
Mari kita lihat sejarah kota ini. Menurut berbagai sumber sejarah geologis menyebut bahwa Demak adalah wilayah maritim. Mungkin sebagian kita familiar dengan nama salah seorang Waliyulloh berjuluk Sunan Muria. Ya ulama besar itu lahir di sini dengan nama asli Umar Said. Dia adalah anak dari Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh. Julukan Muria melekat padanya karena melakukan aktivitas dakwah di kawasan Selat Muria.
Ya. Selat Muria merupakan selat yang pernah ada dan menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria. Selat ini dulunya merupakan daerah perdagangan sibuk. Selat itu menghubungkan dengan daerah lain seperti Jepara dan Pati. Pada sekitar tahun 1657, endapan sungai yang bermuara di selat ini terbawa ke laut sehingga selat ini semakin dangkal dan menghilang, sehingga Pulau Muria menyatu dengan Pulau Jawa.
Pada masa glasial, kira-kira 600 ribu tahun lalu, Gunung Muria beserta pegunungan kecil di Patiayam bergabung dengan dataran utama Pulau Jawa. Hal itu terjadi karena suhu bumi turun dalam waktu lama. Peristiwa tersebut membuat permukaan laut turun rata-rata 100 meter. Namun pada interglasial, kondisi itu berbalik. Suhu bumi meningkat menyebabkan es mencair. Alhasil volume air laut meningkat membuat dataran Gunung Muria dan Pulau Jawa terpisah oleh laut dangkal yang tidak terlalu lebar hingga menjadi selat. Itulah sejarah terbentuknya Selat Muria.
Selat itu menjadi jalan antara masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa dengan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau lain. Karena adanya selat ini, masyarakat yang ingin bepergian antara Kudus dan Demak harus menggunakan kapal. Keberadaan selat ini pulalah yang dahulu membuat Kerajaan Demak menjadi kerajaan maritim.
Bahkan, keberadaan selat itu menjadi cikal bakal mata pencaharian utama nenek moyang kita dari usaha galangan kapal. Di sana, mereka memproduksi kapal-kapal jukung Jawa yang terbuat dari kayu jati. Keberadaan industri galangan kapal menjadikan daerah ini lebih kaya dibandingkan dengan pusat Kerajaan Majapahit. (*)