koranindopos.com – RETRET. Masa orientasi. Pembekalan. Menyatukan visi misi. Ngumpul. Entah apalah definisinya itu, tidak penting bagi saya. Mungkin bagi Anda juga. Publik awam hanya tahu pemerintah sedang didikte. Tidak perlu saya jelaskan siapa kelompok pendikte itu. Anda sudah tahu. Kalau belum tahu, cari tahu dari platform informasi yang kini melimpah, cukup lewat gawai.
Sejatinya, orang awam seperti saya tidak mau tahu. Orang awam hanya tahu apa yang harus dikerjakan untuk mencari makan. Membayar SPP anak sekolah. Menyambung hidup di tengah ekonomi yang redup. Namun entah bagaimana, algoritma Google menyebar isu retret ini hampir di semua platform. Mulai dari sarana media sosial ’receh’ seperti TikTok sampai kanal-kanal You Tube media mainstream. Berseliweran.
Retret sejatinya urusan sepele. Bak Anda memutuskan mengirim anak ke study tour sekolah. Apapun alasannya, orang tua seharusnya berkompromi dengan sekolah. Misalnya, untuk alasan keamanan, orang tua melarang anaknya mengikutinya. Sekolah yang juga memiliki wewenang terhadap pendidikan anak Anda pun akan mempertimbangkan.
Tetapi urusan retret para kepala daerah di Akmil Magelang, Jawa Tengah, ini kok jadi rumit. 55 kepala daerah bolos karena patuh instruksi partai. Padahal, setahu orang awam, kepala daerah terpilih bukan karena partai. Tetapi amanat rakyat. Dan anehnya, bos partai itu pun tidak mau kompromi, layaknya orang tua yang bijak. Kabarnya, 55 kepala daerah itu dikumpulkan di sebuah kafe yang lokasinya tidak jauh dari Akmil Magelang hanya untuk menunggu izin dari si bos partai.
Kok bisa negara dibegitukan. Dan yang membegitukan pun aneh. Lucu. Blunder. Kekanak-kanakan. Di mana kedewasaan berpolitik bangsa ini setelah 80 tahun Indonesia merdeka? Sebuah kemunduran etika politik. Itu adalah perilaku elit politik yang jauh dari kata elitis. Begitulah potret para lakon bangsa ini dalam bersikap dan bernegara. Silahkan Anda simpulkan sendiri. Anda yang memilih 55 kepala daerah itu. Anda yang membayar pajak kepada negara. (*)